Dan sayapun ambruk sebelum pertahanan itu hadir. Saya kembali pada diri yang dulu. Yang tak pernah mau membenci sesuatu dengan sangat. Hey, segalanya punya dua sisi, kan? Namun, setelah malam itu, esoknya, kembali aku mengingkari. Faktanya, aku membenci ketika menyadari mutiara itu hadir lagi di pipiku. Ketika kawan dan guruku mendapati bening menganak sungai di pipi. Kala belakang sekolah menjadi pelarian. Dan Bu Guru menggenggam tanganku, sembari berujar, "Ada apa, nak?" Kala kawanku mengintip di balik dinding. Dan, hey! Aku bertanya-tanya, sejak kapan Si Bening ini berani menampakkan diri di depan banyak orang? Bukankah ia bersahabat dengan hening. Nyatanya, memang tak ada tempat untuk menyepi. Kepada bening yang menjadi pemenang, selamat.
Sebab kata yang tak sanggup kulisankan itu enggan kutelan.