Langsung ke konten utama

Catatan terakhir...

Bolehkan?

Kusebut kamu dalam doaku di hari Arafah, bolehkan? 

Aku B E N C I !

Seakan tak diperbolehkan untuk rehat sejenak. Kabar senja hari ini cukup baik, bahkan sangat bagus untuk mengobrak-abrik hati yang dipeluk risau. Ini jauh lebih menyakitkan dari nilai raporku yang menyusut. 

***

Aku tak pernah ingin membenci sesuatu secara berlebih.
 Namun aku benci ketika aku tersadar, kembali kujilat ludahku sendiri. Nyatanya, aku benci saat kudapati diriku menangis. Membenci kenyataan bahwa segerombol masalah datang menghampiriku. Bukan lagi perlahan namun pasti. Melainkan tergesa dan tepat sasaran. Menamparku, telak hingga ke ulu hati. Rambutku seakan dijambak olehnya. Kebencian terhadap luka lama yang bersua kembali.

A K U  B E N C I !

Faktanya, kembali aku bergemuruh saat berada di tengah. Menjadi penengah. Aku tak dapat menahan keseimbanganku. Hingga terkesan lebih memilih satu dari yang kulerai. Aku benci saat kudapati diriku membentak orang yang kusayang. Saat kusadari aku tak dapat mengontrol diriku yang dibelenggu amarah. Tak dapat mengatupkan bibir agar hening tercipta. 

Aku tak pernah suka. Itu artinya, aku benci kan? 
Ya. Aku akan selalu benci dengan atmosfir mencekam seperti ini. Saat tak ada lagi kehangatan yang tercipta. Pun dingin yang memeluk. Ya, aku membenci saat semua dibicarakan dengan hati yang membara. Saat ego meraja, dan tak ada yang ingin mengalah. 

Mengapa harus berteriak?
Aku benci ketika aku tersadar, aku berteriak. Seakan tak beradab. Aku telah mencoba untuk memelankan suaraku. Tetapi, sekuat apapun aku menekan emosiku, sehebat mungkin melawan gemuruh hati yang berlomba ingin keluar. Sekuat itu pula lawan bicaraku berseru. Berteriak. 

Aku tahu, bahwa aku adalah orang yang egois, dan aku benci itu. Bahwa aku ingin apa yang kulisankan terdengar. Cukup dengarkan, lalu abaikan jika memang tak berarti apa-apa. Mengapa harus ada bentakan yang tercipta. Sedang kita sama-sama membencinya. Mengapa selalu saja memancing kebencian muncul kepermukaan? 

Aku tak lelah. 
 Ya, meski aku tak yakin berapa lama lagi aku bertahan. Di sini aku hanya sebagai penengah, kan? Lalu mengapa sakitnya seperih ini? Lalu bagaimana dengan kalian yang tengah kulerai. Meski aku tak berani menatap manik mata kalian, rasanya pasti jauh lebih sakitkan? Berhenti membual. Aku benci itu. Lirih suaramu menyiratkan sesak yang mendalam. Aku bukanlah seorang psikolog yang mudah membaca rasa lewat tatapan mata. Bukan pula peramal. Aku hanya orang yang mungkin Allah percayakan untuk menengahi. Tapi mengapa selalu ada dentum kemarahan? 

Terlalu buram untuk mengartikan bening yang menyatu dengan isak itu, beradu dengan bentak dan emosi yang memuncak. Bukankah sudah kukatakan, benang yang kusut kan semakin rumit kau benarkan jika nafsu dan emosi kau biarkan meraja. 
Dimanakah sisi lembut hati dan lisan yang kerap kudengar? Mengapa kau biarkan amarah menjadi pemenang. Aku tak tahu siapa yang salah dari kalian. Sama sekali tak berhak menentukan tersangka. Ini bukan sidang di depan hakim. Hanya saja, kebenaran yang sesungguhnya ingin kuketahui. Aku menjadi penengah, itu artinya aku berhak mengetahui kronologi problema ini, kan?

Akan kusiapkan mental tentang kemungkinan terburuk dari penghujung tikai ini. Ini bisa jadi masih awal dari cerita. Maka akan kutamengi diri agar aku tak jatuh ambruk saat tiba pada klimaks sesungguhnya. Sungguh, ini bukan drama yang dipelopori sang sutradara. Bukan pula novel yang dapat kau terka kapan akan berakhir. Pula bukan parade di atas panggung.

Tapi sungguh. Dengan segala entah dan andaiku, aku menanti akhir yang bahagia.
 Karena aku benci ketika mendapati mataku sembab di depan cermin. Benci ketika bening menganak sungai di pipi kalian, orang yang kusayangi. Benci ketika kasih menjelma menjadi geram. Maka kumohon, hentikan pertikaian ini. Sebab Aku  B E N CI !


Dan Amma, berhentilah membenci!



Kala mata enggan terkatup, 29082014















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku layak, Aku berharga.

Aku pernah merasa sakit, lebih tepatnya merasa tersakiti. Aku pernah merasa ditinggalkan, padahal aku sendiri yang mundur dengan jelas. Aku pernah merasa tidak berharga. Pertanyaan-pertanyaan penuh duri berkelindan di kepalaku. Apakah aku setidakberharga itu untuk diperjuangkan? Apakah aku setidaklayak itu untuk mendapatkan cinta yang tulus? Kurangku apa? Salahku dimana? Aku sudah belajar dan mengupayakan banyak hal, termasuk hatiku, tapi apa yang aku dapatkan?  Kemudian aku berpikir, sebenarnya validasi dari siapa yang kutunggu? Aku cukup dan aku berharga.  Aku sangat berarti untuk keluargaku, sahabatku, dan orang-orang yang ada di sekelilingku. Bagi diriku sendiri. Dan yang paling penting, aku sangaaaaat dicintai oleh Allah, pemilikku. Tempat pulangku. Amma, orang-orang yang dulu membuatmu menangis sesenggukan hanya tidak sanggup melihat cahayamu yang berkilau. Mereka menutup mata dan menghindar. Mereka menyerah dan memilih pergi tanpa menyelam lebih dulu mencari mutiara yan...

First Page of 2025 : Refleksi 10Tahun Bersama Blog-ku Tercintaaaa!!!!!

Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh. Annyeong ayyuhannas! Mari memulai postingan pertama di 2025 ini dengan menyebut nama Allah. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tathimusshalihat. Alhamdulillah 'ala kulli hal. Masyaa Allah, Allahumma Bariik. Jujur saja agak speechless dengan judul di atas. Dengan izin Allah 10 tahun lebih dibersamai blog ini, huhuhu terharu :') Suka duka, marah-marah, teriakan gak jelas, puisi, cerpen yang agak alay, sumpah serapah, dan doa-doa pernah kuposting di sini.  Sekira tahun 2012 atau 2013, pertama kali kukenal platform ini: Blogger. Dikenalkan dan diajarkan oleh guru TIK-ku di SMP, Kak Abhe, beberapa kali buat blog, lalu lahirlah blog ini di 2014, terinspirasi dari kakak-kakak FLP CaMar yang waktu itu rata-rata ngepost tulisannya di blog. Lalu di tahun yang sama aku bergabung dengan komunitas blogger pelajar di Maros.  10 tahun bersama, kalau membesarkan anak harusnya sih sudah kelas 4 SD yah. 10 tahun bersama, kalau saja konsisten nge...

Ternyata Aku Pernah Sekecewa Ini

Mama, kupikir aku sedang memulai buku baru dalam hidupku. Ternyata mungkin ini hanya bab baru yang ingin mengajarkanku untuk ikhlas, berserah, dan berpasrah sepenuhnya hanya pada Allah.  Mama, aku ingin bercerita panjang denganmu, ingin bertanya banyak hal tentang hatiku yang kini tak karuan. Mama, ada sesak dalam dadaku yang tak bisa kuungkapkan, tak kutemukan tempat senyaman dirimu untuk bercerita dengan jujur dan lepas. Belakangan, sesak ini makin menyiksa dan membuatku sering menangis saat sedang sendiri, sesaat sebelum tidur, saat mandi, saat makan, bahkan saat sedang berkendara. Aku harus bagaimana Ma? Sudah kubawa perasaan campur aduk ini dalam sujud dan tengadah tangan di malam hening. Setelah puas menangis, kurebahkan tubuhku di atas sajadah. Kuusap-usap lantai yang dingin itu. Duhai, Mamaku yang paling kusayang kini terbaring di bawah tanah, dan entah mengapa dalam posisi ini aku merasa amat dekat dengan Mama. Kadang aku jatuh tertidur, kadang pula tangisku semakin jadi, ...