123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Alif : "Kulemparki hapenu nah!" (Dengan gaya mengancam, siap melempar ke atas kasur) Saya : Lemparmi kalo berani! (Menatap menantang, dalam hati bilang: nda mungkin berani na lempar. Kalaupun na lempar nda papaji, empukji tempat mendaratnya) Lalu ..... Bruukkk *** Jum'at ba'da subuh, hapeku yang memang sudah rusak dan terlalu lelah itu menyerah. Padahal ia hanya terhempas dari tanganku dengan jarak 5 sentimeter di atas lantai. Aku sadar, ia sudah cukup menderita dengan keekstrimanku. Jatuh, bangun. Terjatuh, terbangun. Dijatuhkan, dibangunkan, dan terjatuh lagi. Pokoknya berkali-kali. Sering juga kupakai sambil dicharge, atau sampai baterainya low total. Kasus terakhir sebelum hapeku yang setia itu menunjukkan tanda-tanda kesakitannya adalah ketika dilemparkan oleh Alif ke kasur lalu terjatuh. Tidak, lebih tepatnya melompatkan dan menjatuhkan diri dari kasur ke lantai. Saat itulah dua bintik hitam itu muncul. Sedikit saja, kira-kira setengah samp...