123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Musim Panen
Sepanjang perjalanan diiringi padi yang menguning, tumpukan karung gabah, dan petakan terpal di depan rumah penduduk. Diawasi kanak-kanak dengan sebatang kayu di tangan. Tak lupa dikibarkan kantong plastik di bagian ujungnya, siap untuk mengusir burung yang hendak mematuk, namun lebih sering mengusir ayam yang berdatangan.
Nenekku, seorang petani yang menggarap sawah orang lain. Dan tentu saja masa kecilku juga pernah seperti itu. Dengan alibi menjaga gabah, padahal malah asik main sendiri di bawah pohon, meletakkan kayu pengusir ayam, dan baru beranjak ketika kulihat nenek atau mama keluar mengecek.
Setelahnya, gabah-gabah yang dijemur itu akan diolah menjadi beras. Ini bagian yang paling kusukai. Karena di kampungku nyaris tak ada pabrik keliling, maka gabah sekarung dua karung akan dibawa ke pabrik gabah yang tempatnya di ujung kota. Kau harus mendengar suara mesinnya yang nyaring berisik. Melihat bangunannya yang gelap, luas, dan bertingkat papan. Menurutku itu lebih mirip gudang sih. Oya, sisa olahan kulit gabah yang baunya aneh akan dijadikan pakan ayam oleh nenekku. Di lain waktu mungkin akan kuceritakan tentang ayam-ayam nenekku.
Tapi jangan salah. Meski aku cucu petani, semasa kecilku tak pernah menginjak sawah. Nenekku bertani di Pinrang. Kami tinggal di Parepare. Jadilah sawah itu sangat jauh untukku. Sungguh menyedihkan, ckckck.
Mamaku juga cucu seorang petani. Bedanya, di waktu libur sekolah, mama selalu ke rumah neneknya untuk terjun langsung ke sawah. Aku selalu iri setiap mendengar cerita itu. Dari musim menanam hingga memanen, mamaku pernah. Aku tidak. Mama pernah naik truk angkutan para petani. Aku tidak. Sebenarnya, aku sering sih melihat petani melakukan hal-hal semacam itu, tapi dari atas motor ataupun kaca mobil angkutan tiap ke Pinrang, hehehe... Mama juga sering membawakan makan siang untuk kakeknya. Seperti adegan-adegan yang sering kulihat di tivi. Tapi aku lagi-lagi tidak.
Ah, sudahlah. Untuk apa pula membandingkan masa kecilku dengan mama. Toh, aku bahagia, meski hanya sekadar menjaga gabah yang dikeringkan, dan ikut ke pabriknya. Itu cukup. :)
*Maros, 01 April 2017
**Selepas mengajar di Sege-Segeri :)
Komentar
Posting Komentar