Langsung ke konten utama

Catatan terakhir...

Bolehkan?

Kusebut kamu dalam doaku di hari Arafah, bolehkan? 

Aku layak, Aku berharga.

Aku pernah merasa sakit, lebih tepatnya merasa tersakiti. Aku pernah merasa ditinggalkan, padahal aku sendiri yang mundur dengan jelas. Aku pernah merasa tidak berharga. Pertanyaan-pertanyaan penuh duri berkelindan di kepalaku. Apakah aku setidakberharga itu untuk diperjuangkan? Apakah aku setidaklayak itu untuk mendapatkan cinta yang tulus? Kurangku apa? Salahku dimana? Aku sudah belajar dan mengupayakan banyak hal, termasuk hatiku, tapi apa yang aku dapatkan? 

Kemudian aku berpikir, sebenarnya validasi dari siapa yang kutunggu? Aku cukup dan aku berharga.  Aku sangat berarti untuk keluargaku, sahabatku, dan orang-orang yang ada di sekelilingku. Bagi diriku sendiri. Dan yang paling penting, aku sangaaaaat dicintai oleh Allah, pemilikku. Tempat pulangku.

Amma, orang-orang yang dulu membuatmu menangis sesenggukan hanya tidak sanggup melihat cahayamu yang berkilau. Mereka menutup mata dan menghindar. Mereka menyerah dan memilih pergi tanpa menyelam lebih dulu mencari mutiara yang tersimpan padamu. Kamu tidak kurang sedikit pun. Merekalah yang tidak ditakdirkan untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan lewat dirimu. Barangkali, mereka pun tak berniat membuatmu menangis. Mereka hanya tak berpikir dua kali sebelum berkata dan bertindak. Barangkali, ekspektasimu sendirilah yang menyakitimu: berharap pada manusia.

Tak apa. Menangislah sampai puas, cantik. Lalu usaplah air matamu dan tersenyumlah lagi. Tegakkan kepalamu agar mahkotamu tak jatuh. Kita sudah sejauh ini untuk mengusahakan diri kita. Kejadian itu cukup kita jadikan pelajaran dan diambil hikmahnya. Satu episode tarbiyah dari Allah. Sekarang, mari lanjutkan hidup dengan bahagia dan bersyukur.

Kamu mau hidup lebih sehat? Tak apa, belilah sayur dan buah yang kamu sukai itu walau harganya lebih mahal. Makanlah dengan mindful, katakan bahwa ini adalah bentuk cintaku dengan diriku. Kamu mau tampil indah?  Silahkan. Belilah gamis dan khimar yang kamu kagumi itu. Tak apa harganya merogoh tabunganmu yang juga tak seberapa. Lalu berdirilah di depan cermin. Tatap dirimu dan katakan, Masyaa Allah, terima kasih untuk rezeki yang Kau karuniakan Yaa Rabb. BerkatMu aku bisa tampil indah dalam balutan dresswell ini. Lalu kita usahakan me time yang berharga itu. Jalan sendirian menghidu udara pagi , mandi yang lama plus skincare-an, tidur yang berkualitas, jajan buku, baca buku, nonton film, ikut kelas, re-cook resep, sholat sendiri di masjid yang jauh, bertemu teman,  dan apa-apa saja yang membuatmu bahagia. Karena kamu layak. Kamu berhak. 

Setelah jauh berjalan, bertanya sana sini dan mengusahakan banyak hal, tak apa jika kamu memilih berhenti dan tak melanjutkan perjalanan. Menurutku, keputusan untuk mundur waktu itu sangat tepat, karena kamu tahu batasan dirimu. Kamu tahu apa yang bisa diusahakan dan apa yang tak sanggup kamu ubah. Kamu tahu mana yang bisa  dijalani dan mana yang perlu diikhlaskan agar tidak ada yang tersakiti. Terutama, agar kamu tidak disakiti. 

Bisa jadi, ini adalah jawaban dari setiap doa yang kau pinta. Kau minta dipalingkan jika itu tidak baik untuk urusan agama, dunia, dan akhiratmu. Maka terjadilah kekecewaan itu. Agar kamu berpaling dan kembali kepada Allah. Esok lusa, tetaplah libatkan Allah dan pikirkan dirimu terlebih dahulu ketika pilihan dan kesempatan lainnya mendatangimu. Tanyakan pada dirimu, apakah kamu nyaman, apakah kamu sanggup, apakah kamu ridha dan ikhlas. Memikirkan orang lain itu penting, dan aku tahu kamu tak ingin orang lain merasakan perasaan sakit dan sedih yang pernah kamu rasakan. Tapi, perasaanmu jauh lebih penting.

Aku ingat, dulu kamu menangis tersedu-sedu di atas sajadah mendoakan kebaikan untuk orang-orang yang mungkin secara tidak sadar membuatmu menangis. Kamu takut perasaan sakit dan sedih itu datang sebagai akibat karena kamu mungkin pernah menyakiti orang lain. Tapi, Amma, sejauh apapun kamu memikirkan perasaan orang lain, pikirkanlah juga dirimu. Kamu sudah banyak berusaha untuk orang lain. Kamu sudah cukup berdoa untuk orang lain. Sesekali, usahakan dan doakanlah juga dirimu. Karena sekali lagi, kamu layak, kamu berharga. Kamu berhak memilih dan memiliki kebahagiaanmu. 

Hasbunallahu wa ni'mal wakiil..
Ni'mal maula wa ni'mannashir.. 
La hawla wa la quwwata illa billah..

*Maros, 17 April 2025 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Page of 2025 : Refleksi 10Tahun Bersama Blog-ku Tercintaaaa!!!!!

Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh. Annyeong ayyuhannas! Mari memulai postingan pertama di 2025 ini dengan menyebut nama Allah. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tathimusshalihat. Alhamdulillah 'ala kulli hal. Masyaa Allah, Allahumma Bariik. Jujur saja agak speechless dengan judul di atas. Dengan izin Allah 10 tahun lebih dibersamai blog ini, huhuhu terharu :') Suka duka, marah-marah, teriakan gak jelas, puisi, cerpen yang agak alay, sumpah serapah, dan doa-doa pernah kuposting di sini.  Sekira tahun 2012 atau 2013, pertama kali kukenal platform ini: Blogger. Dikenalkan dan diajarkan oleh guru TIK-ku di SMP, Kak Abhe, beberapa kali buat blog, lalu lahirlah blog ini di 2014, terinspirasi dari kakak-kakak FLP CaMar yang waktu itu rata-rata ngepost tulisannya di blog. Lalu di tahun yang sama aku bergabung dengan komunitas blogger pelajar di Maros.  10 tahun bersama, kalau membesarkan anak harusnya sih sudah kelas 4 SD yah. 10 tahun bersama, kalau saja konsisten nge...

Ternyata Aku Pernah Sekecewa Ini

Mama, kupikir aku sedang memulai buku baru dalam hidupku. Ternyata mungkin ini hanya bab baru yang ingin mengajarkanku untuk ikhlas, berserah, dan berpasrah sepenuhnya hanya pada Allah.  Mama, aku ingin bercerita panjang denganmu, ingin bertanya banyak hal tentang hatiku yang kini tak karuan. Mama, ada sesak dalam dadaku yang tak bisa kuungkapkan, tak kutemukan tempat senyaman dirimu untuk bercerita dengan jujur dan lepas. Belakangan, sesak ini makin menyiksa dan membuatku sering menangis saat sedang sendiri, sesaat sebelum tidur, saat mandi, saat makan, bahkan saat sedang berkendara. Aku harus bagaimana Ma? Sudah kubawa perasaan campur aduk ini dalam sujud dan tengadah tangan di malam hening. Setelah puas menangis, kurebahkan tubuhku di atas sajadah. Kuusap-usap lantai yang dingin itu. Duhai, Mamaku yang paling kusayang kini terbaring di bawah tanah, dan entah mengapa dalam posisi ini aku merasa amat dekat dengan Mama. Kadang aku jatuh tertidur, kadang pula tangisku semakin jadi, ...