123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Tidak semuanya harus diungkapkan dengan kata-kata, Anu | Tapi hal-hal seperti itu selalu bikin salah fokus, ambigu sekali -,- | Ah, masa sih? Kalau matematika kebanyakan angka yang kupake, bukan kata :p | Huaaaa, seriuska ini Am | Saya juga serius, Anu | Itu' Anu mi sede napanggilkan ki -,- 'anu' juga itu ambigu sekali | Haha, karena kau kalau bicara suka sepotong-sepotong, banyak anu-nya. Makanya kupanggil Anu saja | Satu kali pi nah Am, kubombe betulanko itu | Hahaha, maaf pae. Ngemeng-ngemeng nda pergi jum'atan kah? | Apa? Jum'atan? Nu cini' laki-laki ka'? | Hahaha, ampungka' Anu :D *upss | Ituuuuu.... | \:D/
Kita cari solusinya sama-sama nah :) Karena memang banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata :D
Seperti ikatan pertemanan yang tidak perlu pengakuan bahwa ia adalah sahabat.
*eh, balas bbmku eh, masa dibombe betulanka :'D
Maros, 22 Mei 2015
Komentar
Posting Komentar