Langsung ke konten utama

Catatan terakhir...

Bagaimana ini (2)

123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama.  Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya.  Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...

Hei, Am!

Hei, Am! Sampai kapan kau akan menjadi pemusnah rasa dalam dadamu? Kau tahu, aku membencimu ketika kau biarkan aku terpuruk sendiri, menahan gemuruh yang jelas kau rasakan tapi dengan sombongnya kau palingkan wajahmu! Hei, Am! Jangan sekali-kali melupakan bahwa ada sesuatu yang perlu kau suarakan, di sini! Meski kau berlagak setegar itu, tetap sajakan, sakit yang kau rasa. Jadi, berhentilah! 


Sekalipun kuungkapkan gelegar rasa yang bergejolak ini, tidak akan ada yang berubah. Aku tetap menjadi aku. Kau tahu, mencurahkan isi hati yang sedang bergemuruh itu mungkin mudah, tapi menahan bening yang  kian deras menerobos pertahanan itu sungguh sulit. Kau tahu itu.


Tapi, berdiri di titik ego akan menjadi bumerang bagimu. Kau butuh pelampiasan. Kau butuh didengarkan.Kau butuh sandaran. Apa susahnya membagi gundahmu pada mereka yang ada di sekelilingmu? Kau pikir kau boneka yang tak bisa menangis? Kau pikir kau robot yang tak kenal lelah? Hei Am! Menangis itu manusiawi.


Kita sama-sama tahu tentang itu. Toh, tak ada yang mau mendengarkan. Mereka tidak akan pernah mengerti. Kadang kala aku bahkan muak mendengar silat lidah mereka. Begitu manis, tetapi tatapannya mencibir. Aku benci itu! Sekalipun ada yang berbaik hati dengan tulus menjadi sandaran, aku tak mau menambah beban mereka. Sama sekali tidak.


Itu dia yang akan menjadi bumurangmu! Jika kau tak ingin bersuara, mereka takkan mengerti. Hei, Am! Kau hanya perlu bangkit dari bungkammu. Itu saja!


Aku tak bungkam. Aku selalu mencoba untuk memberitahu, tapi hasilnya sama saja. Mereka mencoba menutup telinga. Selalu saja mengharap timbal balik. Aku lelah.


Ya, kau tak bungkam, tapi kau menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya. Apa bedanya?


Kumohon, hentikan. Sudah cukup. Semuanya sudah berlalu. 


Semuanya sudah berlalu dan kau masih saja dalam keterpurukan dan rasa penyesalanmu. Sesekali merutuk. Jadi siapa biang keladinya?


Benar. Berkali-kali kukatakan bahwa tak ada yang perlu disalahkan. Aku hanya perlu mengalah pada keadaan yang menyimpan hikmah. Tapi aku berkali-kali timbul tenggelam di samudra pengandaiaanku.


Jadi sekarang apa maumu, Am?


Kupikir aku hanya perlu belajar tentang Keiklasan.


Lakulan jika itu maumu.




Maros, 04 Maret 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Page of 2025 : Refleksi 10Tahun Bersama Blog-ku Tercintaaaa!!!!!

Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh. Annyeong ayyuhannas! Mari memulai postingan pertama di 2025 ini dengan menyebut nama Allah. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tathimusshalihat. Alhamdulillah 'ala kulli hal. Masyaa Allah, Allahumma Bariik. Jujur saja agak speechless dengan judul di atas. Dengan izin Allah 10 tahun lebih dibersamai blog ini, huhuhu terharu :') Suka duka, marah-marah, teriakan gak jelas, puisi, cerpen yang agak alay, sumpah serapah, dan doa-doa pernah kuposting di sini.  Sekira tahun 2012 atau 2013, pertama kali kukenal platform ini: Blogger. Dikenalkan dan diajarkan oleh guru TIK-ku di SMP, Kak Abhe, beberapa kali buat blog, lalu lahirlah blog ini di 2014, terinspirasi dari kakak-kakak FLP CaMar yang waktu itu rata-rata ngepost tulisannya di blog. Lalu di tahun yang sama aku bergabung dengan komunitas blogger pelajar di Maros.  10 tahun bersama, kalau membesarkan anak harusnya sih sudah kelas 4 SD yah. 10 tahun bersama, kalau saja konsisten nge...

Aku layak, Aku berharga.

Aku pernah merasa sakit, lebih tepatnya merasa tersakiti. Aku pernah merasa ditinggalkan, padahal aku sendiri yang mundur dengan jelas. Aku pernah merasa tidak berharga. Pertanyaan-pertanyaan penuh duri berkelindan di kepalaku. Apakah aku setidakberharga itu untuk diperjuangkan? Apakah aku setidaklayak itu untuk mendapatkan cinta yang tulus? Kurangku apa? Salahku dimana? Aku sudah belajar dan mengupayakan banyak hal, termasuk hatiku, tapi apa yang aku dapatkan?  Kemudian aku berpikir, sebenarnya validasi dari siapa yang kutunggu? Aku cukup dan aku berharga.  Aku sangat berarti untuk keluargaku, sahabatku, dan orang-orang yang ada di sekelilingku. Bagi diriku sendiri. Dan yang paling penting, aku sangaaaaat dicintai oleh Allah, pemilikku. Tempat pulangku. Amma, orang-orang yang dulu membuatmu menangis sesenggukan hanya tidak sanggup melihat cahayamu yang berkilau. Mereka menutup mata dan menghindar. Mereka menyerah dan memilih pergi tanpa menyelam lebih dulu mencari mutiara yan...

Dibuang Sayang~ Part 2

Musim Panen Sepanjang perjalanan diiringi padi yang menguning, tumpukan karung gabah, dan petakan terpal di depan rumah penduduk. Diawasi kanak-kanak dengan sebatang kayu di tangan. Tak lupa dikibarkan kantong plastik di bagian ujungnya, siap untuk mengusir burung yang hendak mematuk, namun lebih sering mengusir ayam yang berdatangan.  Nenekku, seorang petani yang menggarap sawah orang lain. Dan tentu saja masa kecilku juga pernah seperti itu. Dengan alibi menjaga gabah, padahal malah asik main sendiri di bawah pohon, meletakkan kayu pengusir ayam, dan baru beranjak ketika kulihat nenek atau mama keluar mengecek. Setelahnya, gabah-gabah yang dijemur itu akan diolah menjadi beras. Ini bagian yang paling kusukai. Karena di kampungku nyaris tak ada pabrik keliling, maka gabah sekarung dua karung akan dibawa ke pabrik gabah yang tempatnya di ujung kota. Kau harus mendengar suara mesinnya yang nyaring berisik. Melihat bangunannya yang gelap, luas, dan bertingkat papan. Menu...