123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Hei,
Am! Sampai kapan kau akan menjadi pemusnah rasa dalam dadamu? Kau tahu,
aku membencimu ketika kau biarkan aku terpuruk sendiri, menahan gemuruh
yang jelas kau rasakan tapi dengan sombongnya kau palingkan wajahmu!
Hei, Am! Jangan sekali-kali melupakan bahwa ada sesuatu yang perlu kau
suarakan, di sini! Meski kau berlagak setegar itu, tetap sajakan, sakit
yang kau rasa. Jadi, berhentilah!
Sekalipun kuungkapkan gelegar rasa yang bergejolak ini, tidak akan ada yang berubah. Aku tetap menjadi aku. Kau tahu, mencurahkan isi hati yang sedang bergemuruh itu mungkin mudah, tapi menahan bening yang kian deras menerobos pertahanan itu sungguh sulit. Kau tahu itu.
Tapi, berdiri di titik ego akan menjadi bumerang bagimu. Kau butuh pelampiasan. Kau butuh didengarkan.Kau butuh sandaran. Apa susahnya membagi gundahmu pada mereka yang ada di sekelilingmu? Kau pikir kau boneka yang tak bisa menangis? Kau pikir kau robot yang tak kenal lelah? Hei Am! Menangis itu manusiawi.
Kita sama-sama tahu tentang itu. Toh, tak ada yang mau mendengarkan. Mereka tidak akan pernah mengerti. Kadang kala aku bahkan muak mendengar silat lidah mereka. Begitu manis, tetapi tatapannya mencibir. Aku benci itu! Sekalipun ada yang berbaik hati dengan tulus menjadi sandaran, aku tak mau menambah beban mereka. Sama sekali tidak.
Itu dia yang akan menjadi bumurangmu! Jika kau tak ingin bersuara, mereka takkan mengerti. Hei, Am! Kau hanya perlu bangkit dari bungkammu. Itu saja!
Aku tak bungkam. Aku selalu mencoba untuk memberitahu, tapi hasilnya sama saja. Mereka mencoba menutup telinga. Selalu saja mengharap timbal balik. Aku lelah.
Ya, kau tak bungkam, tapi kau menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya. Apa bedanya?
Kumohon, hentikan. Sudah cukup. Semuanya sudah berlalu.
Semuanya sudah berlalu dan kau masih saja dalam keterpurukan dan rasa penyesalanmu. Sesekali merutuk. Jadi siapa biang keladinya?
Benar. Berkali-kali kukatakan bahwa tak ada yang perlu disalahkan. Aku hanya perlu mengalah pada keadaan yang menyimpan hikmah. Tapi aku berkali-kali timbul tenggelam di samudra pengandaiaanku.
Jadi sekarang apa maumu, Am?
Kupikir aku hanya perlu belajar tentang Keiklasan.
Lakulan jika itu maumu.
Maros, 04 Maret 2015
Komentar
Posting Komentar