123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Negeriku menangis lagi
Ada rerintihan yang beterbangan
Jejeritan menghantui
Ada lika-liku semacam teka-teki yang membentang
Membentuk pusaran kelam yang mencipta duka
Kakiku gatal ingin melonjak
Tanganku geram tak bertindak
Dadaku bergejolak
Dadaku bergejolak
Perih, miris sekali
Tapi aku bisa apa?
Negeriku menangis lagi
Menahan gelegar dingin dan perut yang meronta
Tiada lagi bising mengungkung
Semua bungkam, mencipta hening
Bukan lelah, tapi enggan
Negeriku menangis lagi
Mungkin karena dosa tiada terkira
Amarah mengungkung sungai dan langit
Meluapkan kebencian
Menumpahkan buah dendam
Negeriku menangis lagi
Februari kembali basah
Menyayat hati
Terhalau, terjaga
Enggan memejam
Maros, 14 Februari 2015

:( sukaaaaaaaaaaa (y)
BalasHapus:( sukaaaaaaaaaaa (y)
BalasHapus:)
BalasHapus