123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Fajar. Siang. Senja. Malam. Lalu fajar lagi.
Bahkan dentingan di lingkaran yang menempel pada dindingpun terus berkicau.
Bumi berputar.
Angin. Aku bahkan sebal kepadanya. Datang dan pergi seenak jidatnya.
Hujan. Entahlah. Aku tak membencinya, pula menyukainya.
Tapi terkadang aku menantinya berkawan denganku dalam dekap kesendirian. Membutuhkannya, menjadi topeng mutiara yang kuingin hanya aku dan ia yang tahu. Atau sekedar merindunya. Membuatku betah dalam peluk-gelut selimut pagi hari.
Mungkinkah aku hanyalah pecundang yang hanya mampu bersembunyi di balik topeng bernama ketegaran itu? Ah, bukan. Keras kepala mungkin lebih tepat. Atau mungkin keegoisan membuatku lupa, siapa aku? Siapa dia? Siapa mereka?
Bahwa aku, dia, mereka, adalah beda. Bahwa harapan itu kerap menikamku.
Ah, ini terlalu ambigu.
Terkadang Akupun Tak Paham.

Komentar
Posting Komentar