123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Entahlah, sejauh ini aku lebih dominan menjadi pengamat. Kiri kananku kosong, mungkin telah maju ke barisan paling depan memberi semangat. Sejauh ini, hanya jika pertandingan akan dimulai barulah aku berdiri, bersorak secukupnya mungkin sebab pagi tadi hanya sarapan segelas energen coklat dan dua potong roti.
*Tidak ada keterangan tempatnya
**Tapi agaknya ini waktu Ramah Tama Maba Poltekkes 2016
***18 Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar