123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Antara rindu dan lupa, mimpi adalah lintasan yang penuh misteri. Mimpi membawa sepapan kelegaan dengan indikasi kerinduan, dan efek samping menyesakkan.
Mimpi mungkin karena kerinduan yang begitu dalam, atau karena dalam kenyataan kita lupa.
Kau pernah merasakan rindu yang hampir lupa dan menyapamu dalam mimpi? Yang kemudian, ketika kau terbangun, pelupuk matamu berembun, dan hatimu berharap bisa bermimpi lebih lama? Yang bodohnya, di dalam mimpi, rindumu belum terbayar lunas, dan kau belum sempat menyatakan kerinduan, bagaimana rasanya?
Amma rinduuuu :'(
*Maros, 190316
Komentar
Posting Komentar