123 hari sejak nenek berpulang, dan aku masih sering menangis. Di pagi dan siang hari saat aku seorang diri di rumah atau malam sebelum tidur. Banyak hal yang mengingatkanku pada nenek. Ingatan tentang hari-hari terakhir beliau, kebaikan-kebaikannya sepanjang hidupku, dan ketabahannya yang ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Hatiku sedih dan terenyuh di waktu yang sama. Rasanya sesak, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mendoakannya. Bagaimana ini? Aku takut rinduku, air mataku, dan perasaan sedih ini jadi menyusahkan beliau di sana. Aku bukannya tidak ikhlas. Aku hanya rindu.. Rindu yang berakhir dengan air mata dan rasa sedih. Ternyata, kehilangan karena kematian adalah luka yang akan dibawa seumur hidup. Bukan karena kita tidak ikhlas, tetapi karena kesadaran bahwa kita tidak akan bertemu lagi di dunia ini. Bahwa kita tidak bisa memeluknya lebih lama. Bahwa kita mulai lupa aroma tubuhnya. Luka itu besar dan menganga, namun tidak terlihat. Entah seratus, ser...
Teruntuk seorang kawan yang tak kunjung membaca pesanku, La tahzan, innallaha ma'ana. Tegarlah. Yakinlah bahwa setiap cobaan yang mendatangi kita adalah satu kekuatan untuk menjadi lebih baik. Duka yang memelukmu saat ini, jangan kau biarkan larut terlalu lama. Kau harus ingat, bahwa beliau ingin kau bahagia, maka tetaplah tersenyum. Bukankah kau tak ingin ia bersedih hati? Tak banyak yang bisa kukatakan, karena memang takkan pernah sama antara orang yang kehilangan dan merasa kehilangan. Perihal pesan yang masih saja tak terbaca, tak apa. Mungkin ini caramu mengurangi kesedihan. Mungkin pula, kau tak ingin dukamu merembes kemana-mana. Atau mungkin, caraku yang salah. Apapun itu, kau pasti punya alasan tersendiri, kan? Selebihnya, sebagai seorang teman, aku hanya bisa membantu dengan do'a dari sini. Be strong, Qis! Allahummagfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu :( *Maros, 290116