Kak Iis

Nyanyian tak lagi merdu. 
Puisi tak lagi menyentuh kalbu.
 Kau telah membawa pergi separuh jiwaku. 
(Siti Marliah - Mamanya Kak Iis) 

*
Aku tak pernah menyangka jika doa-doa untukmu akan berubah bentuknya secepat ini, sedang aku sibuk dengan segala penyesalanku. Yah, penyesalan. Sampai detik sebelum aku menyelesaikan catatan panjang ini, aku menyesali begitu banyak hal tentang kita. Lebih tepatnya, tentang waktu yang kusia-siakan. 

Allah mempertemukan orang sebaik dirimu dengan aku, si anak sulung yang sejak lama ingin punya kakak. Allah mempertemukan orang sesabar dirimu dengan aku, si tidak sabar dan pengeluh ulung. Allah mempertemukan orang sepandai dirimu dengan aku, si awam ilmu yang selalu sok pintar. Allah mempertemukan penulis seperti dirimu dengan aku, si penampung karya di bawah kasur. Allah sangat baik, sehingga aku dipertemukan dengan perempuan yang perangainya menyerupai bidadari di mataku. 

Kak Iis, begitulah kunamakan catatan panjang ini. Seperti katamu di pelataran Al Markaz ketika aku mengeluh karena kesulitan membuat judul. Cariki dari sudut pandang yang paling unik menurutta. Biasanya saya ambil judul dengan nama tokoh utama kalau sudah kelimpungan ndak dapat judul. Yah, begitu katamu, aku masih ingat. Di tangga Al Markaz, kau sering sekali memanasiku dengan kata-kata semangat, membaca cerpen-cerpen yang kuketik dengan sangat abal-abal. Menstabilonya, lalu memasukkannya ke dalam tasmu, untuk kemudian kau koreksi lebih dalam, dan perlihatkan padaku pekan selanjutnya. Pernah juga kau menunjukkan gambar dari laptopmu, seseorang dengan kaleng susu di kepalanya. Kemudian kau bertanya apa yang kupikirkan tentang itu, Aku masih ingat, bagaimana aku terdiam cukup lama, untuk kemudian hanya menggumamkan kata  'apa di'?' sambil nyengir kuda. Aku juga masih ingat, ketika kutanya balik, kamu menjawab dengan singkat, "Otak Kaleng". Yah, otak kaleng! Lihatlah betapa aku berpikir begitu lamban dan Kak Iis dengan sangat jeniusnya berkata seperti itu. 

Yah, Kak Iis, di mataku adalah penulis hebat yang berhasil menyeludup di dalam hatiku. Penulis yang dengan ceria menantang kami membuat puisi. Katamu, sebuah majalah di Majene memintamu mengirim puisi untuk diterbitkan. Kau menantang kami, jika berhasil membuat puisi di sekmen hari itu, maka karya kamilah yang akan dikirim. Ah, aku lupa nama majalahnya. Lebih lupa lagi dengan bait-bait yang kutuliskan. Tapi aku ingat judulnya, BUI. Judul yang dengan susah payah kita pikirkan di tangga Al Markaz, Aku, Dhila, dan dirimu. Dan meski aku tak tahu bagaimana kelanjutan puisi itu setelahnya, aku selalu percaya bahwa karya pertamaku yang dipublikasi adalah puisi Bui itu. Itu kelas dua SMP. Naik ke kelas tiga, peserta sekmen semakin banyak dan Kak Iis tak pernah kehabisan akal untuk menstimulasi kemampuan menulis kami. Lalu selepas kelas menulis, kita akan bercerita panjang lebar tentang apa saja. Aku selalu merindukan saat-saat seperti itu, kak.

Di suatu kesempatan, Kakak bilang ranselku seperti tas doraemon yang mengeluarkan banyak barang. Lalu berbicara tentang saudara, Kau terkejut dan tertawa lepas begitu tahu aku tak punya kakak, punya adik tapi cuma satu dan lahir di tanggal yang sama denganmu (waktu itu Fahmi belum lahir). Ketika kutanya mengapa tertawa, Kakak bilang, "Bedanya sama saya gang. Ada Kakakku, banyak adekku, ada lagi adekku sudah dua tahun sejak lahirki na nda pernahpi kuliat sampai sekarang." Kau merahasiakan jumlah saudaramu. Rahasia di tangga Al Markaz itu benar-benar membuatku penasaran, sampai ketika Kau mengirim sebuah pesan send-all yang isinya sebuah kesempatan untuk bertanya apa saja padamu, aku dengan segera menggunakan  kesempatan emas itu untuk bertanya tentang rahasia itu hohoho...  Aku masih ingat balasanmu yang kau awali dengan "Iih, hahaha amma curaaaaanggg....". Belakangan aku  tahu adik yang kau maksud adalah Azka, your best enemy.

Di setiap tahun, sejak April 2012, awal pertemuan kita, pesanmu selalu masuk di-inbox hape komunikaterku. Mengirimkan doa-doa dan harapan-harapan setiap hari ulang tahunku. Dua tahun beranjak, ketika Kakak harus kembali ke Jakarta, aku menuliskan banyak harapan-harapan tentang pertemuan kembali denganmu. Selain itu, kita kerap saling menyebutkan di dalam postingan blog masing-masing. Aku juga masih ingat ketika akhir tahun 2014 kuputuskan untuk mengganti alamat blog ini. Pesanmu datang via sms menanyakan kenapa kau tak bisa membuka pagar rumahku. Kenapa webnya error. Dan apakah aku pindah rumah. Singkat cerita, alamat baruku kukirimkan padamu, sebagai orang pertama yang kuharap datang berkunjung.  Kau ingatkan?

Doa-doamu juga tak lagi datang via sms, tapi kau tuliskan di rumah keduamu,  Keongky. Sampai usiaku menginjak angka tujuh belas, kau tak pernah alpa dengan doa-doa dan tulisan manis yang kau tujukan untukku. Tahun lalu, ketika aku berusia delapan belas, pesanmu tak datang. Ditambah Keongky yang tak lagi bisa kau buka, aku mengelus dada. Kau mungkin sibuk, tapi tak mungkin lupa. Tahun ini, kau tak mengirimiku pesan lagi. Tak ada sms atau sekedar komentarmu di sosial mediaku. Aku tak sedih tapi begitu sakit. Kenyataan bahwa kau takkan pernah mengirimiku pesan benar-benar memukulku telak di tempat yang tepat. 

Hatiku hancur, Tapi aku tak sendiri. Mamamu, Bapakmu, Adik-kakakmu, yang jumlahnya pernah kau rahasiakan, sahabat-sahabatmu, kami semua pilu berderai. Kak Iis, tahun ini adalah usiaku yang ke sembilan belas. This is my last teen! Tapi pesanmu tak datang dan takkan pernah datang lagi. 

You gone and leave us. 

Bagaimana caraku untuk melupakan kebaikan-kebaikanmu? Bagaimana caranya aku menghapus penyesalan-penyesalan yang kerap kuteriakkan pada diriku sendiri,

Mengapa waktu aku ke Tangerang, kita tak berjumpa? 

Mengapa ketika kau datang di walimahan Kak Ira dan Kak Alif aku tak bolos kuliah saja agar kita bisa bertemu?

Mengapa tak kusampaikan saja kerinduanku lebih dulu, padahal beberapa hari sebelum kau pergi jauh aku begitu rindu?

Mengapa dan mengapa...

Kak Iis, sampai sebelum detik ini, aku dipenuhi penyesalan. Tapi sekarang tidak lagi. Kini aku tahu alasanmu tak mengirim pesan tahun lalu di hari ulang tahunku. Kau pasti hanya ingin aku terbiasa tanpa pesan dan doa-doa darimu. Tapi bukankah waktu itu kau bilang doa-doamu tetap berlaku hingga akhir zaman? Karena itu, aku akan selalu ingat doa dan harapan yang kau kirim ke langit untukku. 

Kak Iis, aku janji, rindu takkan menusukku lebih dalam. Aku akan berdamai dengan segala kenangan yang mengingatkanku padamu. Rinduku akan kutata rapi, agar kita bisa menikmatinya bersama dalam untaian doa-doa. 

Kak Iis, semoga kau masih ingat doaku dua hari setelah pertemuan terakhir kita di dunia yang fana ini. Hari ini, kuucapkan doa itu sekali lagi.

"Menaruh harap agar Allah berkenan mempertemukan kita dalam keadaan yang indah. Lebih indah. Jauh lebih indah. Aamiin, Allahumma aamiin."
 
Selamat ulang tahun, Kak Iisku. Hari ini usiamu dua puluh enam, andai kita masih bisa berbalas pesan. Tapi aku selalu percaya bahwa  kecintaan Allah pada orang-orang baik sepertimu lah yang menjadi alasan mengapa kau dipanggil-Nya dengan cepat. 

Terima kasih karena telah bersedia untuk menjadi kakakku. Terima kasih karena telah mengajariku banyak hal. Terima kasih atas segala ungkapan terima kasih yang tak bisa kuuraikan satu-satu.
Maafkan karena aku harus menuliskan penggalan-penggalan kisah tentang kita yang memang tak banyak di rumah keduaku ini. Maafkan karena aku tak sempat meminta maaf atas segala kesalahanku. Maafkan karena aku tak tahu, sungguh tidak tahu kalau orang-orang tengah ramai membicarakan dirimu hari itu. Maaf. Maafkan Amma, Kak Iis. 

*

Ya Allah, jagalah Kak Iisku dengan sebaik-baik penjagaan-Mu. Sayangi ia. Peluk ia di tempat terindah di sisi-Mu. 

Allahummagfirlaha warhamha waafihi wa'fuanha. 

Kusayangki kak. Surga tempatta kembali. :")

*
Maros, 28 Agustus 2017

Komentar

What them read?

Ciee Kak Iis Sweet Seventeen Ciee :P

Dear Lhy-yha^^

Ada yang Lebih Daebak dari KMH ^_^

Masih Tentang Perempuan