Ketika kau tak tahu apa yang hendak kau katakan,....



 sumber gambar: Noor Muslimah

Jika kau tak tahu apa yang hendak kau katakan, maka menulislah. Niscaya kau akan tahu kata apa yang tersemat di balik kalbumu.

***

Sayup-sayup kumandang syahdu dari toak-toak masjid menyapa pendengaranku. Hening masih setia menemani setelah tadi Mama masuk ke kamar untuk memastikan apa aku tertidur lagi di samping dipan. Alunan ayat suci melantun indah, menyusup hingga pori terkecil dalam raga. Ini  bukan yang pertama kali. Sebab meski kerap bersenandung dengan melodi Korea yang bertengger manis di ponsel -yang sebagian besar tak kuketahui maksud dan tujuannya-, diam-diam, di sudut hening malam, aku kerap mendengar lantunan ayat suci yang meneduhkan lagi menyejukkan. 

Lalu aku mulai meratap, bual dan laku salah apa lagi yang telah kulakukan sepanjang hari. Menyesalkan khilaf, merutuk diri, sesekali tertawa -jika teringat kekonyolan-, kadang pula terisak, berjanji takkan melakukannya esok. Menanam dalam hati bahwa penyesalan selalu datang di akhir cerita, maka tetaplah mawas diri dalam menapak langkah, mawaslah dalam menguntai ucap, mawaslah dalam mengawal tindak. Namun bodohnya, esok, ketika mentari masih setia tersenyum, aku mengulang kesalahan yang sama. Awas yang telah kutanam dalam hening malam terabai. 

Berkali-kali aku berjanji agar berhenti menjadi sosok yang banyak bicara. Berkali-kali memupuk diri agar slogan 'Diam adalah Emas' tumbuh dalam diri. Berkali-kali berniat agar bangun salat malam. Tapi berkali-kali pula mengabai alarm yang berkoar di hening malam. Berkala-kali berjanji agar buku sekolah kusiapkan di malam hari, agar esok tak ada lagi gesa. Namun tetap saja ingkar. Lalu aku tersadar, bahwa aku terlalu banyak berjanji, berniat. Hingga tak satupun darinya yang terbayar. Hingga tak ada lagi senyum harap dari semua yang telah kujanji. Ya, aku mengingkarinya. 

Sama seperti saat ini. Saat aku menyadari, pukul satu tadi aku terjaga. Memutuskan untuk membuka buku pelajaran, sekedar menyalin catatan yang tertinggal minggu kemarin. Setelahnya, berniat mengambil wudhu. Shalat malam. Setelah sebelumnya aku tersadar. Aku kedatangan tamu. Aku merutuk diri, lagi. Kenapa baru di saat seperti ini aku terjaga dari lelap di atas empuknya dipan. Kenapa mataku selalu tak kuasa menahan kantuk ketika telah kuniatkan untuk mendirikan shalat malam. 

Dari menara-menara masjid terdengar kumandang adzan. Saling menyapa dan bersahut-sahutan. Tak lagi sayup-sayup, karena masjid di belakang rumah juga telah berkumandang. Aku berhenti sejenak, meresapi adzan yang kerap abai dari perhatianku. Merapal do'a agar esok aku kembali terjaga, lalu mendirikan shalat malam. Satu persatu muadzin telah meninggalkan mimbar. Beranjak, mendirikan shalat sunnah fajar. Aku merutuk diri lagi. Biasanya aku lebih memilih tenggelam dalam mimpi. Tidak, lebih tepatnya berkhayal, melanjut mimpi yang tadi hinggap. Menanti, agar Mama atau Bapak membangunkanku. Enggan beranjak dari gelungan selimut. Aku sadar, itu bukan lagi khilaf, sebab telah menjelma menjadi rutinitas. Dan sekarang, aku menyesalinya lagi. Berjanji, tak ada lagi esok yang mengabaikan subuh. Ya, kita lihat saja esok. Apa aku kembali ingkar dari janjiku. 

Dari kamar sebelah, terdengar suara khas adikku, "Ma, bangun meka" bahkan adikku enggan melewatkan dahsyatnya pesona subuh. Kuambil ponsel, 04.56. Baiklah, sepertinya sudah saatnya menutup laptop. Memulai Jum'at Mubarok dan mengharap berkah. Mengikis ingkar dan menyambung janji yang sempat terabai. Ya, semoga esok tak ada lagi ingkar. 

***
Jika kau tak tahu apa yang hendak kau katakan, maka menulislah. Niscaya kelegaan akan menyusup, meningkap tirai yang menutup kalbu. 


Jum'at, 26 September 2014


Komentar

What them read?

Ciee Kak Iis Sweet Seventeen Ciee :P

Dear Lhy-yha^^

Ada yang Lebih Daebak dari KMH ^_^

Masih Tentang Perempuan